Apa dan Siapa KMPAN ?

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Organisasi Mahasiswa Aceh Terbesar Di Dunia, Lebih Dari 30.000 Mahasiswa/Pemuda Aceh Ikut Ambil Andil di KMPAN dalam Melakukan kegiatan2 untuk tercapainya Kemakmuran Bagi Seluruh Rakyat Aceh

Info Aceh Terbaru

Pengikut

Selasa, 08 Juni 2010
KMPAN: PENGGAGAS REFORMASI DI ACEH
Muhammad Nazar Pengkhianat Idielogi Mahasiswa Aceh


Slogan ini menggambarkan situasi Aceh pasca DOM 7 Agustus 1998. Harapan orang Aceh untuk hidup bebas dari rasa takut tinggal mimpi. Penculikan dan pembunuhan masih terus terjadi. Bahkan tak lama setelah DOM, Habibie kembali melanjutkan kebijakan Soeharto. Ia menerapkan Operasi Wibawa 1999.

Kondisi ini memicu perlawanan dari gerakan sipil. Puncaknya saat mahasiswa dan pemuda Aceh menggelar Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau atau KOMPAS yang diikuti oleh 386 orang dari 104 organisasi yang berasal dari dalam dan luar negeri.

Kita berkumpul untuk mencari format penyelesaian permasalahan Aceh yang telah berlarut-larut, ujar Said Fadhil, mahasiswa Universitas Pasundan, Bandung. Said adalah bagian dari delegasi Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) yang dibentuk pada akhir 1998. Anggota KMPAN adalah organisasi mahasiswa Aceh yang berada di 7 kota di pulau Jawa [Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Surabaya] plus Sumatera Utara. KMPAN bekerja sama dengan Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh atau KARMA menggagas KOMPAS yang diselenggarakan pada Bulan Februari 1999 di Gedung Sosial Banda Aceh. Kongres empat hari ini berlangsung alot, peserta beradu gagasan untuk mengakhiri konflik Aceh.

Dari kongres itu keluar dua rekomendasi penting, pertama, memilih referendum dengan opsi merdeka atau bergabung dengan RI, dan kedua mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas memperjuangkan referendum. Kongres juga memilih Muhammad Nazar (delegasi Gerakan Intelektual Seluruh Aceh atau GISA) sebagai ketua dewan presidium SIRA. Dalam hitungan hari setelah kongres berakhir, SIRA langsung menjalankan tugasnya melakukan sosialisasi dan kampanye baik pada tingkat lokal, nasional, bahkan internasional melalui jaringan-jaringan yang ada termasuk membangun jaringan dengan GAM.

Diakui atau tidak, suksesnya referendum tidak terlepas dari dukungan GAM, kata Taufik Abda. Kegiatan kemahasiswaan seperti demonstrasi pada waktu itu membuat isu referendum lebih cepat tersampaikan kepada masyarakat. Pada 28 Oktober 1999, SIRA menggelar aksi massa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Aksi ini diberi nama Aksi Sumpah Bangsa Aceh yang melibatkan 150.000 warga dari berbagai daerah, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Aksi ini menghasilkan petisi untuk terus memperjuangkan referendum.

Pada 8 November 1999 sekitar 1,5 juta orang berkumpul menuntut referendum di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Aksi ini dinamai Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum atau disingkat SU MPR. Seluruh aktivitas di kantor pemerintah atau swasta, sekolah, perbankan, perdagangan berhenti total selama perhelatan akbar tersebut berlangsung. Massa mengenakan ikat kepala bertuliskan "Referendum". Pekikan Allahu Akbar, alunan Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir bergema yang dipandu dari mimbar oleh antara lain, Akmal Aksal, Faisal Ridha, Tgk. Nuruzzahri, Tgk. Bulqaini, Fajri M Kasim, Cut Nur Asikin, Abu Yus dan M. Nasir Djamil.

SETELAH sukses memobilisasi aksi-aksi massa, masalah internal mulai muncul di tubuh SIRA. Pemicunya adalah cara pengambilan keputusan yang dilakukan SIRA di KOMPAS II [20 - 23 Februari 2000]. Kongres itu dilaksanakan untuk mengevaluasi kerja dan menentukan mekanisme kerja SIRA selanjutnya. Dalam kongres tersebut, organisasi Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh-Jakarta (IMAPA), menganggap SIRA sangat tidak demokratis. Mereka menggunakan praktek memaksakan kehendak, yang mereka klaim sebagai kehendak orang banyak. Padahal orang yang banyak itu adalah orang yang belum menentukan sikapnya, tutur Fajran Zain, perwakilan IMAPA. Fajran menambahkan bahwa belum adanya suatu jawaban yang pasti mengenai transparansi keuangan dan juga agenda pertanggungjawaban, makin menambah kekecewaan IMAPA terhadap SIRA.

Oleh sebab itulah kami perwakilan dari Jakarta memilih walk out dari kongres, dan menyatakan tidak bertanggung jawab apapun lagi terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh SIRA, lanjut Fajran. Langkah IMAPA diikuti tiga organisasi lain, yaitu Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Forum Darussalam (FORDAS), serta Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). SIRA waktu itu sangat membenci pemikiran-pemikiran yang mengkritisi agenda referendum. Yang berseberangan pendapat tidak mereka pakai. Harusnya kelompok-kelompok yang berseberangan pendapat itu mereka rangkul bukan malah disingkirkan. Banyak juga lembaga-lembaga di Aceh yang tidak setuju dengan kebijakan SIRA pada waktu itu, tapi mereka tidak punya pilihan, kalau tidak mereka akan disingkirkan, kata Fajran, panjang lebar.

Taufik Abda tidak mengelak. Namun ia menyesalkan keputusan pengunduran diri empat organisasi itu yang dinilainya terlalu terburu-buru menghadapi dinamika yang terjadi di SIRA. Kita semuanya mempunyai tanggung jawab masing-masing. Kalau memang belum ada mekanisme dan aturannya, kita bikin. Jadi jangan malah mengundurkan diri karena menilai SIRA tidak jelas. Jadi tanggung jawab sesudah SU MPR itu bagaimana katanya.

MENJADI PARTAI POLITIK

Memang sudah mulai terwacana mengenai masalah pembentukan partai politik lokal dan ini menimbulkan pro-kontra, ujar Nurzahri. Nurzahri termasuk orang yang tidak sepakat jika SIRA menjadi sebuah partai politik. Pertama, ia beralasan, ada salah satu kesepahaman bersama bahwa ketika SIRA membentuk sel-sel di kantong GAM, itu ditujukan untuk mendukung intelektualitas para personil GAM yang saat itu masih banyak yang menggunakan pola-pola militer dalam menyelesaikan masalah. Alasan kedua, mendirikan sebuah partai lagi di dalam garis perjuangan akan menyebabkan perpecahan di tingkat lapangan yang bisa berefek buruk terhadap GAM sendiri. Dengan mendirikan sebuah partai di jalur yang sama dengan GAM, itu sebenarnya menghancurkan GAM sendiri dan melemahkan nilai tawar Aceh di mata pusat. Karena kita tahu GAM bukan berorientasi kepada politik. Kalau memang dari dulu tujuan GAM hanya gubernur atau ingin duduk sebagai anggota dewan, saya pikir tidak ada orang yang mau berjuang selama puluhan tahun di hutan-hutan meninggalkan keluarganya, jelas Nurzahri.

Langkah SIRA membentuk partai juga dikritik Fajran Zain dari IMAPA. Itu jelas melanggar etika organisasi. Seharusnya jika SIRA ingin membentuk partai, harusnya ada dibuat semacam KOMPAS III, di mana keputusan juga diambil secara kolektif, ujarnya. Fajran kini menjadi staf ahli di Aceh Institute, sebuah lembaga yang berfokus pada penelitian dan pengkajian sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Namun Taufik justru memiliki pandangan berbeda. Itu tidak benar. Alasan SIRA membentuk partai karena mandat dari MoU Helsinki. Itu kan sebagai alat perjuangan yang legal, dan juga bisa memberikan pendidikan politik bagi anggota-anggota SIRA yang ada sekarang, katanya. Dari perbedaan pandangan itulah Nurzahri kemudian memutuskan mengundurkan diri dari SIRA pada Agustus 2006.

Menjelang pertengahan Desember 2007, SIRA menggelar kongres di Wisma Bintara Pineung, Banda Aceh. Selama empat hari, mereka menggodok pembentukan partai lokal yang bakal ikut berebut suara dalam pemilihan umum 2009. Akronim nama partai itu tetap sama: SIRA. Namun kepanjangannya berubah menjadi Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).

Pemilihan akronim partai ini sempat berjalan alot di hari kedua kongres. Sedikitnya ada 21 kepanjangan SIRA yang telah disiapkan Panitia Persiapan Pembentukan Partai Politik Lokal (P5L) SIRA, yaitu Seutot Indatu Rakyat Aceh, Solidaritas Independent Rakyat Aceh, Su Wali Rakyat Aceh, Sahabat Independent Rakyat Aceh, Saboh Ikat Rakyat Aceh, Seluruh Ikatan Rakyat Aceh, Sosialis Islam Rakyat Aceh, Save Islam Raya, Seuramoe Islam Rakyat Aceh, Society Indepent Rakyat Aceh, Solidaritas Insan Rakyat Aceh, Seuramoe Islam Raja Aceh, Suara Intelektual Rakyat Aceh, Seuramoe Independent Republik Aceh, Seuramoe Jejak Indatu Rakyat Aceh, Sue Intat Rakyat Aceh, Suara Independent Rakyat Aceh, Serikat Independent Rakyat Aceh, Serap Inspirasi Rakyat Aceh, dan Sentral Informasi Revolusi Rakyat Aceh, dan Semua Ini Rakyat Aceh.

Tapi kenapa harus menggunakan nama SIRA? Menurut Fajran Zain dari IMAPA, keputusan membentuk partai dengan tetap menggunakan nama SIRA, lagi-lagi, merupakan sebuah pelanggaran etika dalam berorganisasi. Buatlah apa namanya, tapi bukan SIRA. Itu kan keputusan orang ramai saat KOMPAS.

0 komentar:

IP

Apakah Tampilan Blog ini Membuat Anda Nyaman